Syaiful Anwar : Perlu Dipikirkan Pengakuan Anak Di Luar Pernikahan
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat (FPD) FPD, Syaiful Anwar menilai usulan pengakuan hak anak dalam RUU Adminduk ini sudah cukup bagus, artinya anak yang dilahirkan oleh perkawinan agama dan negara harus terdaftar, namu perlu juga dipikirkan bagi anak yang dilahirkan di luar nikah, dengan kata lain anak yang dilahirkan dari proses perzinahan.
“Anak yg dilahirkan di luar nikah itu adalah penduduk Indonesia juga, apalagi jumlahnya tidak sedikit. Kita bisa lihat dilokalisasi, banyak anak-anak yang lahir. Anak-anak itu tidak salah, yang salah adalah orang tuanya. Saya pikir perlu ada pasal yg mengatur soal ini,” tegasnya saat RDP Panja RUU Adminduk Komisi II DPR dengan Dirjen Dukcapil Kemendagri, Senin (1/7).
Hal senada dikatakan politisi dari FPDIP Eddy Mihati mengatakan pada prinsipnya di dalam pencatatan kependudukan, seorang anak yang lahir di negara ini dan dilahirkan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), otomatis harus tercatat sebagai warga negara. “Jangan sampai anak lahir karena dianggap proses 'haram' menurut agama, lalu itu tidak tercatat sebagai penduduk,” ujarnya.
Lain halnya dengan anggota DPR dari FPKS, Jazuli Juwaini, dalam rapat itu, pihaknya mengusulkan agar warga yang tidak lahir di dokter atau bidan juga bisa mendapatkan kemudahan. Mereka tidak harus menyertakan surat dari dokter atau bidan untuk mendapatkan akta kelahiran.
"Tidak semua warga lahir di dokter atau bidan, tapi ada juga yang di dukun atau paraji. Jadi persyaratan teknis yang baku saja, seperti KK (Kartu Keluarga-red). Jangan sampai surat kelahiran mempersulit mereka," katanya.
Sebelumnya dalam penjelasanya, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Irman, mengatakan pihaknya sudah menginvetarisir semua Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada RUU Adminduk yang telah disampaikan oleh fraksi-fraksi di DPR. Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu diperlukan dalam perubahan RUU itu tapi belum tertuang di dalam DIM fraksi-fraksi tersebut.
Diantaranya ialah yang berkaitan dengan pasal 49 dalam RUU tersebut yang mengatur tentang pengakuan seorang anak. Tujuan dari pasal ini kata dia adalah untuk melindungi hak-hak seorang anak yang perkawinan orag tuanya belum sah menurut negara. Sebab, selama ini ada pemahaman yang belum jelas di masyarakat soal pengakuan anak dari hasil perkawinan.
“Ada perkawinan yang sah di agama tapi belum sah di negara, ada juga yang belum sah di agama juga di negara. Usulan kami, bahwa pengakuan anak itu bisa berlaku bagi orang tua yang perkawinannya belum sah menurut negara tapi sah menurut agama. Tapi tidak berlaku bagi anak hasil perzinahan,” ujarnya.
Dengan kata lain, kata Irman, anak yang lahir dari perkawinan ibu dan ayah yang tidak disahkan oleh agama maupun negara, tidak akan diakui.“Kasarnya hasil perzinahan, itu tidak mendapat pengakuan," tegasnya.
Sementara anak-anak yang lahir dari ibu dari perkawinan sah secara agama tapi belum disahkan secara negara (nikah siri-red), akan diberi akta pengakuan. Dengan demikian, kata Irman, anak tersebut memiliki hak perdata dari ayahnya.
Selanjutnya pada pasal 50 disebutkan bahwa negara memberi akta pengesahan bagi anak yang dilahirkan dari ibu hasil perkawinan agama dan kemudian menikah pula secara negara dengan ayahnya. "Akta pengesahan itu lebih tinggi dari pengakuan," katanya.(nt)